Monday, November 9, 2015

Children are great imitators, so... give them something great to imitate

Untuk sementara ini saya tinggal di apartement yang tidak terlalu besar tapi cukup nyaman untuk di tempati dengan fasilitas yang sudah lengkap. Di apartement tempat saya tinggal ini bertetangga dengan empat pintu, dan salah satu tempat yang bersebelahan dengan kami itu adalah sebuah keluarga dengan dua anak. Anak yang pertama adalah laki-laki mungkin umurnya sekitar 7 atau 8 tahun, dan yang ke dua adalah anak perempuan yang saya perkirakan berumur 3 tahun. Anak laki-laki ini saya dengar-dengar suka membentak ibunya, dan yang anak perempuan sangat suka sekali menangis, sampai saya dan suami sudah hafal kebiasaan menangisnya, setiap habis magrib dan itu akan terus berlanjut sampai malam hari dengan jeritannya yang cukup menggangu. 
Tidak hanya sampai disitu, anak itu menangis hampir setiap saat hingga siang hari. Sampai-sampai pada suatu hari saya berdoa sama Allah jika esok, atau lusa saya dikaruniai seorang anak, anugrahkan anak yang soleh atau solehah, menghormati kedua orang tua, sayang terhadap sesama dan keluarga, serta jadi anak yang tidak ogoan alias tidak cengeng. Ini doa saya setiap mendengar anak itu menjerit menangis. Setiap pagi anak perempuan itu pun akan menangis, mungkin ingin ikut ayahnya yang akan berangkat bekerja, dan biasanya tangisannya pun lebih dahsyat, dan bagian si ibu sendiri yang berteriak untuk menghentikan tangisannya. Sayang saya tidak mengerti apa yang si ibu teriakan karena memakai salah satu jenis bahasa India yang tidak saya pahami. 
Setiap anak itu menangis, setiap pagi saya seperti mendengar si ibu ber-acting berteriak mengancam akan pergi meninggalkan anaknya sendirian di rumah. Kenapa saya bisa tahu? Karena terdengar si ibu membuka pintu, sambil menutup kembali dengan suara yang begitu keras terdengar seperti kata-kata mengancam. Kejadian itu selalu berulang setiap pagi, tapi ternyata cukup ampuh untuk membuat anak itu berhenti menangis. 
Namun suatu hari, sepertinya acting si ibu menjadi acting terakhirnya. Ketika si ibu mengancam akan pergi dan meninggalkan anaknya sendirian di rumah, si anak benar-benar mengunci pintu dari dalam. Tinggal si ibu yang tegang, berteriak-teriak dari luar meminta anaknya membuka pintu, dan ajaibnya si anak malah tidak menangis dan dengan tenang menjawab si ibu dari dalam. Yang saya dengarkan tak ada expresi marah atau sedih dari suara si anak dia seperti berkata, "silahkan pergi atau tinggalkan aku sendiri di rumah tidak masalah". Disisi lain saya merasa ingin tertawa, tapi disisi lain saya dapat pelajaran dari peristiwa ini. Saya terus mendengarkan si ibu yang suaranya mulai pelan meminta anaknya membuka pintu, sampai saya perhatikan itu sudah satu jam. Mungkin si ibu mulai kesal, akhirnya meminta watch man (penjaga gedung) untuk membuka pintu. Setelah tragedi kunci pintu saya tidak mendengar lagi anak itu menangis kencang, atau si ibu berteriak keras selama beberapa hari. Meskipun tangisnya kadang terdengar tapi tidak sesering sebelumnya. 
Well.... ini adalah pembelajaran baik buat saya, bahwa anak itu tidak butuh dibentak, anak itu akan belajar dari pola yang sama kedua orang tuanya. Saya jadi ingat kedua orang tua saya, ketika anaknya menangis, termasuk saya salah satunya, mereka tidak pernah berkata kasar, memarahi atau memukul, mereka cenderung diam dan setelah itu berakting menyapa saya seolah-olah tidak ada apa-apa. Semoga ini menjadi pembelajaran kelak untuk saya ketika dikaruniai anak. InshaAllah

No comments:

Post a Comment